Monday, 5 June 2017

Faktor pemicu mundurnya pasukan Jengis Khan dari Eropa

Jika masih ada yang menganggap remeh pemanasan global, mungkin ada baiknya kita belajar lagi dari sejarah.


 
Pada 1206, Genghis Khan, seorang pemimpin suku dari kawasan utara Mongolia, mulai menguasai dunia. Dengan taktik yang tiada ampun dan pasukan yang setia, ia merebak ke seantero Asia menebar teror dan ketakutan. Satu demi satu, wilayah-wilayah jatuh ke bawah kekuasaan kekuatan Kekaisaran Mongol yang kemudian membentang hingga pantai timur Tiongkok. Beberapa serangan yang berhasil di Hungaria dan Polandia seakan menandakan Eropa pun akan takluk dengan mudah.
 

Namun demikian, seperti dikutip dari Science Alert pada Selasa (31/5/2016), kemenangan-kemenangan di Eropa mendadak terhenti. Begitu pasukan Mongol tiba di Austria, mereka mendadak pulang kembali ke Asia. Ada apa? Hingga saat ini, para ahli sejarah hanya bisa menebak-nebak karena keterbatasan ketersediaan catatan tertulis. Namun demikian, suatu penelitian yang dilaporkan dalam jurnal Scientific Reports menggunakan pendekatan lain untuk memecahkan teka-teki hengkangnya pasukan sang penakluk dari Eropa. Cincin-cincin batang pohon mengungkapkan adanya masa dingin dan basah selama beberapa tahun, sehingga "merusak tanah ladang dan mengurangi pergerakan, serta menurunkan daya guna pasukan militer berkuda Mongolia.".


Betikut ini adalah penjelasan ringkas tentang kebangkitan Mongol dan bagaimana perubahan iklim alamiah telah memaksa mereka membatasi kerugian dan menghentikan perang puputan.

Sebelum Hungaria

Setelah Genghis Khan meninggal pada 1227, ia mewariskan kepada Ogodei, putra ketiganya, suatu wilayah sangat luas yang membentang dari Tiongkok timur laut hingga ke Laut Kaspia, tepat di utara Iran sekarang ini. Secara keseluruhan, luas wilayah pendudukan itu sekitar 28 juta km persegi.

"Baik diukur berdasarkan total orang yang dikalahkan, jumlah negara yang diduduki, ataupun luas wilayah yang dikuasai, Genghis Khan menguasai lebih dari dua kali yang pernah dikuasai manusia manapun dalam sejarah," kata ahli sejarah Jack Weatherford dalam bukunya yang berjudul 'Genghis Khan and the Making of the Modern World'--diterjemahkan sebagai 'Genghis Khan dan Pembentukan Dunia Modern'. Setelah kematian sang ayah, Ogedei Khan meneruskan warisan ayahnya, Kekuasaannya meluas ke timur dan barat, hingga menududuki apa yang tersisa di barat laut Tiongkok dan merangsek ke Rusia, terbantu oleh masa basah yang memungkinkan pasukan Mongol membawa ribuan kuda melintasi gurun Gobi, yang merupakan gurun terbesar di Asia. Tidak sampai tahun 1240, kota Kiev telah diobrak-abrik dan kumpulan pasukan itu dengan kilat menuju ke barat. Pasukan berkuda dan taktik pendudukan mereka meluluhkan lantakan kota-kota Eropa dan, dengan demikian, membawa serta bubuk mesiu temuan bangsa Tiongkok. Rentetan kesuksesan kecil itu menghantarkan pasukan Mongolia ke Hungaria pada Maret 1241. Raja Bela IV melarikan diri dari istananya di kota Pest (sekarang Budapest). Pasukan Ogodei membantai sekitar 1 juta warga Hungaria, termasuk tentara, rohaniwan, kaum ningrat, ksatria, maupun rakyat jelata. Kekalahan itu terhitung sebagai salah satu yang paling berdarah di Abad Pertengahan.

Pada Desember 1241, Ogodei Khan meninggal secara mendadak. Sejumlah ahli sejarah berpendapat bahwa Batu, keponakan Ogodei, yang memimpin penyerbuan ke Barat, kemudian berputar kembali ke Karakorum, ibukto Mongolia, guna pemilihan pemimpin baru.

Tapi Batu tidak pernah kembali ke Mongolia dan malah bersemayam di selatan Rusia untuk memerintah bersama Kumpulan Keemasan (Kipchak Khanate), yang mendapatkan namanya berdasarkan kekayaan para penguasanya. Sementara itu, Toregene, istri Ogodei, naik tahta sebagai Khatun Agung.


Akhir yang Mendadak

Pada tahun berikutnya, semua berubah. Pasukan itu mendadak berputar ke selatan, bergerak melalui wilayah yang menjadi Serbia di masa kini, dan kemudian pulang lewat Rusia. Kaum keturunan mereka memang sering melakukan penyerbuan-penyerbuan ke kota-kota Eropa, tapi serangan besarnya sudah usai. Ada beberapa hipotesis yang diajukan untuk menjelaskan mengapa pasukan itu meninggalkan serangan ke barat. Tapi, para penulis makalah baru itu berpendapat bahwa tidak ada satupun yang cukup untuk menjelaskan perubahan arah tersebut.
 
Para penulis mengambil sejumlah contoh kayu dari 5 kawasan Eurasia untuk melacak cuaca pada masa penjelajahan terjauh bangsa Mongol tersebut. Secara khusus, pepohonan peka terhadap perubahan-perubahan kecil dalam kondisi iklim. Dalam tahun-tahun yang basah, pohon menambahkan lapisan-lapisan tebal inti batangnya. Selama tahun-tahun yang kering, cincin-cincinnya lebih tipis, karena lebih sedikit air yang terserap dalam pohon. Para mendapati adanya perubahan iklim sehingga Hungaria dan sekitarnya menjadi sangat dingin dan basah selama kira-kira 3 tahun, dari 1238 hingga 1241. Penambahan kelembaban dan lebih awalnya musim semi mengubah dataran Hungaria menjadi rawa-rawa yang tidak bisa dilalui oleh ribuan kuda andalan pasukan Mongolia sebagai alat pengangkutan dan senjata peperangan. Pada 1242, tahun terakhir penyerbuan di Eropa, para peneliti mengamati adanya keadaan yang sangat lembab. Hal ini mengakibatkan rusaknya panen, sehingga mengurangi pasokan pangan bagi pasukan Khan. Muncullah bala kelaparan yang menewaskan ribuan orang di kawasan itu. Ada dugaan para pemimpin pasukan Ogodei memilih jalur selatan ketika menjauh dari Eropa karena secara relatif masih lebih kering, demikian menurut para penulis.


Lalu apa yang terjadi pada pasukan Mongolia sesudah itu? Kematian Ogodei Khan mengundang perebutan kekuasaan di antara para putra dan cucu lelaki Genghis Khan sehingga semakin memecah belah Kekaisaran Mongol dan tidak pernah bersatu lagi. Namun demikian, kaum keturunannya lanjut mendirikan sejumlah dinasti di India (Mughal), Tiongkok (Yuan), Persia (Il Khanate), Imperium Timurid, Chagatai Khanate, dan Siberia (Golden Horde). Bangsa Mongol melanjutkan menetap di Kawasan Otonomi Mongolia Dalam di Tiongkok maupun di Mongolia masa kini. Di Mongolia, wajah Genghis Khan dipasang di mata uang, minuman vodka, kotak rokok. Namanya pun diabadikan sebagai nama bandara internasional di Ulaan Baatar, ibukota Mongolia.


Para ilmuwan semakin piawai memeriksa catatan iklim secara lebih rinci sehingga kita sekarang mengungkapkan lebih banyak tentang caranya iklim membentuk sejarah. Iklim yang tidak biasa diduga telah memungkinkan bangsa Polinesia untuk menyebar ke Pasifik Selatan, meruntuhkan kota-kota metropolis di Meksiko pada masa pra-kolonial, atau bahkan menndorong Attila dari bangsa Hun untuk menjajal teror terhadap Kekaisaran Romawi 800 tahun sebelum Genghis Khan. Para penulis laporan menyimpulkan bahwa penelitian mereka tentang mundurnya bangsa Mongolia dari Hungaria “menggambarkan kejadian ketika fluktuasi kecil pada iklim berpengaruh pada sejarah.” Seandainya tidak ada
perubahan iklim mungkin seluruh Eropa akan tunduk di bawah perintah Mongol.


Kesimpulannya juga memberikan pelajaran tentang masa depan iklim kita, yaitu bahwa diperlukan hanya beberapa derajat saja untuk mengubah arah sejarah manusia.

No comments:

Post a Comment